LKS; Antara Idealisme dan “Praktis-isme”


LKS (Lembar Kerja Siswa), awalnya digunakan oleh guru untuk keperluan praktikum di laborat. Isinya adalah petunjuk pratktik materi pembelajaran tertentu. Jadi isi LKS berupa petunjuk pelaksanaan praktek, analisa, kesimpulan hasil praktikum dll. Tapi LKS sekarang memiliki makna yang lebih luas. LKS diartikan sebagai semacam diktat/modul,  yang berisi ringkasan materi pelajaran, latihan soal-soal, dan untuk mapel tertentu sperti IPA, TIK , juga  ada petunjuk praktikumnya. LKS ini biasanya dicetak oleh penerbit dan didistribusikan ke sekolah/madrasah.  Cara pendistribusiannya bermacam-macam, ada yang langsung ke guru mata pelajaran, melalui waka urusan kurikulum, ada yang kerja sama dengan koperasi sekolah, atau bisa melalui kepala sekolah.

Namun pemanfaatan LKS yang demikian sekarang ini banyak mendapat sorotan dari para pakar pendidikan. Heny Ruslanto, SE, Kepala Dinas Pendidikan Kab. Purbalingga sebagai keynote speaker dalam Workshop Nasional Pembuatan Blog di Owabong Purbalingga (7 Maret 2010), pernah mengemukakan, tahun 2010 ini Dinas akan melarang penggunaan LKS di sekolah-sekolah. Alasannya, dengan adanya LKS guru menjadi tidak kreatif, tidak mau berpikir, tidak mau membuat soal sendiri. LKS juga sering dijadikan alasan bagi guru untuk meninggalkan kelas,  siswa diberi tugas mengerjakan soal di LKS halaman tertentu, dll. Artinya banyak efek negatifnya, baik bagi  guru maupun anak didik.

Kontroversi LKS berikutnya adalah karena anak membayar, padahal sudah ada dana BOS (bantuan operasional sekolah) yang peruntukannya untuk keperluan belajar siswa disekolah. Sedangkan LKS adalah salah satu bentuk kebutuhan belaja siswa. Jadi kalau dana BOS bisa digunakan untuk LKS, seharusnya anak tidak membayar. Tapi kebanyakan sekolah tidak mengalokasikan dana BOS untuk LKS. Dana BOS biasanya untuk biaya operasional pembelajaran dan kegiatan siswa lainnya. Kecuali BOS Buku, memang itu khusus untuk pengadaan buku di madrasah, itu pun kadang judul buku dan penerbitnya sudah ditentukan.

Terlepas dari pro dan kontra, menurut saya, tanpa LKS bagi sekolah-sekolah di kota yang sudah maju dengan fasilitas lengkap, guru-guru yang professional, didukung dengan kondisi orang tua siswa yang mampu secara finansial, mungkin bisa. Mereka dapat membeli buku-buku dengan harga yang cukup mahal. Dan itu tidak masalah. Tapi untuk sekolah/madrasah yang belum memiliki buku penunjang yang cukup, kadang kesulitan mencari referensi yang bisa digunakan siswa dalam jumlah yang banyak, pengalaman guru masih kurang, kemampuan finansial orang tua anak didik kurang, dan seabreg kekurangan lainnya, menurut saya LKS boleh dan itu wajar digunakan.

Salah satu cara mengeliminir kekurangan buku panduan, maka guru menggunakan LKS dari penerbit. Di sini memang guru banyak dimudahkan. Materinya ada, contoh soalnya ada, dan harganya lebih murah dari pada membuat LKS sendiri, sudah itu dapat bonus lagi. Nah, ini barangkali yang banyak mendapat sorotan.

Oleh karena itu, untuk rekan-rekan guru yang “terpaksa” masih menggunakan LKS dari penerbit dengan berbagai alasan, supaya (1) memilih LKS dengan cara menelaah dan mencocokkan isi LKS dengan silabus/SK-KD; (2) jangan menjadikan LKS sebagai pusat acuan pembelajaran (LKS hanya sebagai penunjang). Siswa boleh menggunakan LKS, tapi guru harus memiliki referensi yang lebih dari LKS; (3) jangan menggunakan LKS dengan alasan seperti  yang dituduhkan di atas (tidak kreatif, tidak mau membuat soal, meninggalkan kelas, dll). Kreativitas harus tetap di jaga; (4) jangan memaksakan siswa/wali untuk membeli  LKS; (5) Ini harus diupayakan, guru harus mencoba membuat LKS sendiri, syukur bisa bekerja sama dengan penerbit, paling tidak diterbitkan untuk lokal madrasah/sekolah. Banyak keuntungan dari membuat LKS sendiri. Dengan menulis, kemampuan kita akan terus terasah, disamping itu bisa untuk meningkatkan angka kredit bagi PNS.

Semoga bermanfaat.

Satu pemikiran pada “LKS; Antara Idealisme dan “Praktis-isme”

Tinggalkan komentar