Pendidikan Multikultural di Madrasah


Nilai-nilai Pendidikan Multikultural

khazanah klasikMultikultural dapat diartikan sebagai keragaman budaya, meskipun ada tiga istilah lain yang biasanya digunakan untuk menggambarkan masyarakat yang mempunyai keberagaman, baik agama, ras, bahasa dan budaya yang berbeda, yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity) dan multikultural (multicultural). Pada dasarnya ketiga istilah tersebut mengacu pada satu hal yang sama, yaitu “ketidaktunggalan”, namun secara konseptual memiliki perbedaan diantara ketiga istilah tersebut. Pluralitas merepresentasikan adanya kemajemukan, lebih dari itu multikultural memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaan itu mereka tetap sama diruang publik[1].

Dalam tulisannya yang berjudul Islam dan Multikulturalisme[2], Samsul Rizal Panggabean memberikan gambaran mengenai pandangan Islam tentang Multikulturalisme. Rizal membahas multikulturalisme dalam dua arah pembicaraan, yaitu multikulturalisme dari komunitas muslim (Multikulturalisme Internal) dan komunitas agama-agama lain (Multikulturalisme Eksternal).

  1. Multikulturalisme Internal

Multikultuiralisme Internal adalah keanekaragaman internal di kalangan umat Islam. Islam berkembang di seluruh Indonesia yang multi etnis, budaya, adat istiadat, bahkan berkembang berbagai mazhab dan aliran keagamaan. Ini menunjukkan bahwa kebudayaan dan pemahaman Islam itu majemuk secara internal.

Kemajemukan internal ini mencakup antara lain: bidang pengelompokan sosial; bidang fiqh; bidang teologi, dan bidang tasawuf. Dalam konteks yang lebih modern, di kalangan umat Islam telah berdiri banyak organisasi keagamaan, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis dan lain-lain, sampai munculnya politik kepartaian yang sering mengatasnamakan kelompok agama.  Kesadaran inilah yang perlu di tanamkan melalui dunia pendidikan madrasah sehingga peserta didik memiliki kompetensi wawasan dan mampu mengembangkan karakter toleran di tengah pluralisme masyarakat Islam sendiri.

  1. Multikulturalisme Eksternal

Multikultural eksternal ditandai dengan pluralitas komunal-keagamaan, merupakan fakta yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat muslim. Lebih dari itu, multikulturalisme juga menjadi semangat, sikap, dan pendekatan terhadap keanekaragaman budaya dan agama.

Sebagai bagian dari kondisi yang majemuk, umat Islam terus berinteraksi dengan umat dari agama-agama lain. Melalui proses interaksi ini, umat Islam memperkaya dan diperkaya tradisi keagamaan lain, dan umat agama lain memperkaya dan diperkaya tradisi keagamaan Islam.

Fikih dalam Kajian Multikultural

Abdul Hamid Hakim, sebagaimana dikutip Moh. Rivai[3], mendefinisikan Fiqih sebagai berikut:

اَلْفِقْهُ لُغَةً اَلْفَهِمُ , فَقِهْتُ كَلاَمَكَ ,أَيْ فَهِمْتُهُ وَاِصِطِلاَحًا اَلْعِلْمُ بِأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِيْ طَرِيْقُهَا اْلاِجْتِهَادُ

Yakni: “Fiqih secara etimologi berarti faham, seperti ungkapan ‘fahimtu kalamaka’ berarti saya memahami ucapanmu. Dan secara terminologi Fiqih berarti pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang diperoleh melalui metode ijtihad”.

Ijtihad yang dimaksud pada definisi tersebut di atas berarti menggunakan seluruh daya dan upaya (potensi akal) untuk menetapkan hukum syari’at (tentang sesuatu hal) dengan metode istinbat (memetik/mengeluarkan) dari kitab dan sunnah.

Pertanyaan yang pertama muncul adalah, apakah fikih termasuk dalam kajian multikultural? Apakah fikih dapat dikatakan sebagai kultur produk maunsia? Untuk menjawab pertanyaan ini maka kita akan berbicara tentang berbagai ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan umat Islam.

Wacana ikhtilaf merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri. Karenanya, menyamakan pendapat adalah suatu hal yang bertentangan dengan kodrat manusia yang Tuhan telah tetapkan. Perbedaan mazhab di kalangan ulama adalah sebuah fenomena khazanah kekayaan Islam yang memberi hidup secara variatif. Fikih yang mengarah pada sikap intoleran dan diskriminatif terhadap kelompok lain sudah saatnya dibaca secara kritis sebagai sebuah produk sejarah yang sangat mungkin untuk diubah.[4]

Problematika ikhtilaf yang melahirkan ragam mazhab merupakan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri. Imam al-Nawawi mengatakan “Para ulama mengingkari tentang penyatuan pendapat, dan mereka tidak mengingkari tentang adanya perbedaan pendapat”.[5] Memaksakan untuk menyamakan pendapat telah bertentangan dengan tabiat dan naluri manusia. Sehingga upaya seperti ini sama saja menentang kemahakuasaan Allah Swt. Sekalipun hal itu mudah bagi Allah Swt untuk menjadikan manusia satu dalam semua hal. Namun, Allah ingin memperlihatkan kekuasaan-Nya untuk memperoleh hikmah yang besar atas perbedaan tersebut.

Fikih meniscayakan keragaman opini hukum, yang dalam istilah teknisnya dinamakan ikhtilâf. Perbedaan (ikhtilâf) terjadi, kecuali disebabkan faktor internal nash hukum itu sendiri, juga dikarenakan tingkat dan kemampuan daya intelegensia fuqahâ yang  tidak sama. Oleh karena itu, fikih sering diidentikan dengan perbedaan (ikhtilâf), sebab membicarakan fikih tidak lepas dari perbedaan pendapat. Pepatah Arab mengatakan, “man lam ya’rif al-khilâf lam yasum râihah al-fiqh (siapa yang tidak tahu perbedaan pendapat, ia tidak akan mencium aroma fikih).[6]

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fikih merupakan hasil pemikiran manusia atau produk budaya. Oleh karena itu, pendapat mujtahid tentang sebuah hukum fikih akan terkait dengan kultur dan latar belakang budaya yang berkembang di lingkungannya, sehingga persoalan fikih juga akan terkait dengan pluralitas dan multikultural.

[1]  Sopiah, FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009 hal. 158

[2]  http://nashir6768.multiply.com/journal/item/1

[3] Ibid hal 124-125

[4] Muammar Bakry “Pengembangan Karakter Toleran Dalam Problematika Ikhtilaf Mazhab Fikih”,  Al-Ulum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar  Volume. 14 Nomor 1, Juni 2014, hal.  171

[5] Ibid, hal. 174

[6] Ibid, hal. 174

Satu pemikiran pada “Pendidikan Multikultural di Madrasah

  1. Ping balik: NILAI-NIAI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM MATA PELAJARAN FIKIH (Analisis Materi Ajar Buku Siswa Fikih Pendekatan Saintifik Kurikulum 2013 Madrasah Tsanawiyah) | Catatan Kecil Guru Madrasah

Tinggalkan komentar